(dokumentasi pribadi 13 April 2018)
Pada tulisan kali ini, saya akan membahas sejarah salah
satu bangunan tua yang berada di jalan
Kemenangan III No.47, Tamansari, Glodok, RT.3/RW.2, Glodok, Tamansari, Kota
Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11120 yang biasa disebut
juga sebagai kawasan Pecinan Glodok. Bangunan yang berfungsi sebagai Gereja
Katolik ini, sebelumnya difungsikan sebagai rumah tinggal seorang bangsawan
Tionghoa.
Glodok merupakan
bagian dari kota lama Jakarta, yang sejak zaman hindia-belanda disebut sebagai
daerah Pecinan. Mayoritas Penduduk yang tinggal di Glodok merupakan keturunan
bangsa Tionghoa.
Sejarah
Gereja Santa Maria de
Fatima mulai berdiri ketika adanya tugas pelayanan dan pewartaan dari Vikaris
Apostolik Jakarta, Mgr. Adrianus Djajasepoetra SJ kepada Pater Wilhelmus Krause
Van Eeden SJ. Tujuan awal didirikannya gereja ini adalah sebagai gereja,
sekolah dan asrama bagi orang-orang Hoakiau ( Cina Perantau) yang berada di sekitar
Glodok.
Sebagai langkah awal,
dipilihlah Pater Antonius Loew SJ dari Austria sebagai kepala paroki dan Pater
Leitenbauer sebagai pengelola sekolah yang pertama. Sekolah itu dinamakan
Sekolah Ricci, berasal dari nama imam missionaries Yesuit , Matteo Ricci. Usaha
Pater Leitenbauer, yang dibantu oleh Pater Braunmandl. Pater Loew dan Pater
Tcheng, berjalan lancar, dan mereka juga membuka kursus bahasa Inggris, Jerman
dan Mandarin, yang terkenal dengan sebutan Ricci Evening School, dan asrama
yang di kelola oleh Pater Tcheng diberi nama Ricci Youth Center.
Pada tahun 1953,
dibelilah sebidang tanah seluas 1 hektar, untuk digunakan sebagai kompleks
gereja dan sekolah, dari seorang kapitan (sebutan untuk seorang Lurah Keturunan
Tionghoa di Zaman Penjajahan Belanda) bermarga Tjioe dengan harga sebesar 3
juta rupiah dan pada tahun 1954, tanah dan bangunan itu resmi menjadi milik
gereja. Di atas tanah itu berdiri sebuah bangunan utama dan 2 bangunan mengapit
bangunan utama.
Pada tahun 1954,
perayaan ekaristi pertama dilaksanakan di dalam gereja dan dipimpin oleh 4
orang imam dan diikuti oleh 16 orang umat. Minggu-minggu berikutnya jumlah umat
semakin bertambah dan misa dimajukan menjadi puku 06.00 sedangkan pada pukul
07.30 digunakan untuk misa berbahasa mandarin.
Sejak tahun 1959,
pemerintah mulai melarang penggunaan bahasa Mandarin sehingga banyak orang
keturunan Tionghoa yang tidak dapat berbahasa Mandarin. Hal ini sangat
berpengaruh pada pelaksanaan misa gereja. Pihak gereja harus mendatangkan
pastur yang dapat berbahasa Indonesia agar misa dapat tetap berjalan. Sampai
sekarang misa dengan menggunakan bahasa Mandarin dilakukan setiap hari Minggu
sore, demi mempertahankan keragaman budaya Tionghoa di daerah Pecinan.
Keberadaan gereja ini sangat mempengaruhi komposisi umatnya, yang sebagian
besar adalah orang-orang Tionghoa. Seiring perkembangan jumlah umatnya, pihak
gereja membangun courtyard yang menjadi area panti umat yang kini mampu
menampung 600 umat. Proses pembangunan gereja ini memanfaatkan
bangunan-bangunan yang sudah ada tanpa
merubah struktur bangunan yang ada sehingga masih tampak keasliannya. Tidak
hanya gaya arsitektur dan ragam hias, bahkan dalam melakukan ritual keagamaan
dan memberikan pelayanannya, gereja ini tetap mempertahankan beragam budaya dan
tradisi Tionghoa.
Semakin lama umatpun
semakin bertambah, maka pada tahun 1968, perayaan ekaristi diadakan didalam
ruang kelas di kompleks sekolah Ricci, dan diberkati oleh Mgr. Papalardo (duta
besar Vatikan waktu itu), sementara kapel lama direkonstruksi ulang menjadi
gereja yang lebih besar. Gereja baru mampu menampung 600 orang umat, bangunan
kanan digunakan untuk pastoran dan kirinya dialihkan fungsi dari ruangan kelas,
menjadi ruangan seksi organisasi.
Pada tahun 1970,
gereja Santa Maria de Fatima diserah terimakan dari Serikat Jesuit kepada
Serikat Xaverian, yang diwakili oleh Pater Pietro Grappoli S.X. Tetapi karena
sakit beliau akhirnya digantikan oleh Pater Otello Pancani S.X.
Setelah kedatangan
Pater Otello, gereja di renovasi secara besar-besaran, pergantian lantai dan langit-langit.
Penataan tempat untuk patung Maria De Fatima, yang berasal dari Ortisei (Italia
Utara) dan Hati Kudus Yesus, yang diberkati oleh Mgr. Leo Soekoto SJ. Lalu
dipasang pula ukiran kayu Yesus yang disalib bersama 2 orang penjahat yang
dikirim dari Italia pada jaman Pater Liliano. Selain itu lahirlah
organisasi-organisasi seperti Koor paroki, Legio Mariae, Putera Altar,
Kelompok-keompok katekumen baru, Sekolah minggu dan pertemuan-pertemuan di
lingkungan.
Pada tahun 1989, Pater
Yosef Bagnara diangkat menjadi Kepala Paroki menggantikan Pater Vincenzo yang
ditugaskan di Pulau Nias. Selain jumlah umat yang semakin bertambah, terjadi
pula pemekaran di wilayah yang ada di Paroki menjadi 8 wilayah dan 25 lingkungan.
Selain itu muncul pula seksi-seksi baru seperti Sant’ Egidio, HAK dan KKMK.
Selanjutnya jabatan kepala paroki dipegang oleh Pastor Guido Paolucci, dan pada
tahun 2011 oleh Pastor Germano Framarin.
Sekarang ini, Bangunan gereja katolik Menurut SK Gubernur yang tertera pada papan yang terlihat di dekat bangunan tersebut, adalah bangunan yang dilindungi oleh pemerintah.
(dokumentasi pribadi 13 April 2018)
PERHATIAN
SK GUBERNUR NO. cb.11/12/72. TANGGAL 10 JANUARI
1972 (LEMBARAN DAERAH NO. 60/1972)
- GEDUNG INI DILINDUNGI UNDANG-UNDANG MONUMEN STBL 1931 NO. 238
- SEGALA TINDAKAN BERUPA PEMBONGKARAN, PERUBAHAN, PEMINDAHAN DI ATAS BANGUNAN-BANGUNAN INI HANYA DAPAT DILAKUKAN SEIZIN GUBERNUR KEPALA DAERAH
- SETIAP PELANGGARAN AKAN DITUNTUT SESUAI UNDANG-UNDANG YANG BERLAKU
PEMERINTAH DKI JAKARTA
DINAS MUSEUM DAN SEJARAH
sumber:
- Thamrin Diana, Arifianto Felik. 2015. “KERAGAMAN BUDAYA TIONGHOA PADA INTERIOR GEREJA KATOLIK (Studi kasus: Gereja Santa Maria De Fatima di Jakarta Barat)”. Universitas Kristen Petra – Surabaya
-
Paroki Santa Maria De Fatima. “Sejarah Gereja Santa Maria de Fatima”. http://santamariadefatima.org/sejarah-gereja-santa-maria-de-fatima/# (diakses Mei 2018)