Minggu, 15 Juli 2018

adaptasi Bangunan Cagar Budaya Gereja Santa Maria de Fatima



tampak bangunan
sumber: dokumentasi penulis 13 april 2018

Bangunan Cagar Budaya adalah sebuah kelompok bangunan bersejarah dan lingkungannya, yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan nilai sosial budaya masa kini maupun masa lalu (Burra Charter, 1992: 21). 

Peraturan Menteri  No. 01/PRT/M/ 2015 tentang gedung cagar budaya yang  dilestarikan; Pasal 16 yang menyatakan “Adaptasi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 14 ayat (3) huruf b dilakukan melalui upaya pengembangan bangunan gedung cagar budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan cara melakukan perubahan terbatas yang tidak mengakibatkan penurunan nilai penting atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.” 

Upaya Mempertahankan Bangunan Cagar Budaya dalam mempertahankan bangunan cagar budaya terdapat rambu-rambu dan kebijakan dalam pelaksanaannya, yang diatur secara peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah Undang-undang No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya; 
Pasal 83 yang menyatakan: 
  1. Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan: 
    • Ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya; dan/atau
    • Ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi. 
  2. Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: 
    • Mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada cagar budaya; 
    • Menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan; 
    • Mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau 
    • Mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya

Gereja Katolik Santa Maria De Fatima awalnya merupakan rumah tinggal seorang bangsawan Tionghoa yang berada di pecinan kota Jakarta. Meskipun saat ini bangunan tersebut telah difungsikan sebagai sebuah gereja Katolik, budaya Tionghoa yang dianut oleh penghuni dan masyarakat tetap dipertahankan hingga sekarang. Adanya penerapan keragaman budaya Tionghoa pada sebuah tempat ibadah Katolik menjadikan bangunan Gereja Santa Maria De Fatima
Dinding bagian depan gereja dan partisi
sumber: dokumentasi penulis 13 april 2018

Dinding bagian depan gereja terdapat motif ornamen yaitu motif bunga poeny yang melambangkan kehormatan, simbol meander melambangkan panjang umur, dan pola geometris atau diaper pattern. Pola geometris yang ada berbentuk lingkaran, merupakan simbol surga dan kotak, merupakan simbol bumi sehingga diletakkan di bagian atas dinding. Kombinasi dari ragam hias ini menunjukkan derajat dari pemilik rumah yang mengharapkan kebahagiaan dalam kehidupan yang seimbang (balance). Warna yang digunakan adalah warna merah yang melambangkan kebahagiaan, warna kuning yang melambangkan kemuliaan dan warna biru (air) yang melambangkan ketenangan

Partisi terletak di bagian depan pintu utama gereja yang berfungsi untuk membatasi cahaya berlebih agar tidak masuk ke dalam ruang dalam gereja. Material yang digunakan adalah kayu warna merah dan warna emas pada ukiran maupun ornamennya. Penggunaan warna merah dan emas ini menunjukkan status dari pemilik atau penggunanya. Ragam hias ukiran berupa diaper pattern, sepasang kura-kura yang melambangkan umur panjang dan motif awan melambangkan kesaktian. Ornamen berupa motif geometris yang melambangkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian (balance). Bentuk partisi gereja dan ragam hiasnya simetri, dengan peletakannya yang simetri juga.

pintu utama 
sumber: dokumentasi penulis 13 april 2018
 Pintu yang menggunakan warna merah dan warna emas pada ornamen dan ukirannya. Warna merah dan emas ini menunjukkan tingkat kesakralan 
jendela pada bagian depan
sumber: dokumentasi penulis 13 april 2018

Jendela di bagian depan gereja ini terdapat di bagian kanan dan kiri pintu utama berfungsi untuk memasukan cahaya matahari ke dalam ruangan. Material yang digunakan adalah kayu warna merah dan emas pada lis kusennya. Jendela ini diberi teralis kayu warna emas. Jendela ruang sekretariat juga menggunakan kayu warna merah dan warna emas pada lis kusen. Jendela ini juga diberi teralis besi warna emas. Penggunaan warna merah dan emas menunjukkan pentingnya status dari bangunan ini, yaitu gereja. Motif yang ada pada teralis ini menggunakan pola geometris. Pola geometris ini melambangkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian (balance). 

kolom, elemen dekoratif, dan atap 
sumber: dokumentasi penulis 13 april 2018
Kolom di bagian depan gereja ini menggunakan kayu. Warna merah melambangkan kebahagiaan, sedangkan warna emas melambangkan kekayaan dan kemakmuran yang umumnya dipakai di istana-istana raja. Penggunaan warna ini menunjukkan suatu kedudukan atau bangunan penting, yaitu gereja dan harapan akan kebahagiaan bagi pengguna/pemiliknya. 
Elemen dekoratif terdapat pada bagian depan gereja, area panti umat, area panti imam, dan area lainnya yang ada di bagian kanan dan kiri bangunan. Struktur ini berhubungan dengan kolom dan balok. Struktur menggunakan material kayu. Bentuk struktur menyerupai bentuk ekor burung (owl-tailed). Struktur pada bagian depan gereja menggunakan warna merah dan warna emas untuk menunjukkan suatu kedudukan atau bangunan penting, yaitu gereja dan harapan akan kebahagiaan bagi pengguna atau pemiliknya. Terdapat ukiran naga warna emas, bunga teratai/ lotus warna merah dan ornamen sepasang naga warna emas yang diharapkan bangunan ini akan selalu aman dan jauh dari hal yang buruk atau tidak baik. 
Atap dalam bagian depan gereja menggunakan kayu warna hijau dan balok kayu warna merah. Warna merah merupakan simbol Yang, unsur api yang melambangkan kebahagiaan, warna hijau merupakan simbol Yin, melambangkan kedamaian, sedangkan warna emas melambangkan kekayaan dan kemakmuran yang umumnya dipakai pada istanaistana raja. Keseimbangan pada Yin & Yang dipercaya dapat membawa keberuntungan bagi penggunanya. Penggunaan material pada plafon area pintu utama, area meja altar, dan tabernakel gereja juga menggunakan kayu yang dicat warna putih dan balok kayu yang dicat warna abu-abu. Penggunaan warna putih (Yang) dan warna abu-abu (Yin) bertujuan untuk saling melengkapi dalam mencapai keseimbangan. 

untuk info tambahan, penulis bertanya kepada penjaga gereja santa maria de fatima. bagaimana jika ada kerusakan pada bagian bangunan tersebut? lalu penjaga tersebut menjelaskan bahwa pernah ada perbaikan penutup atap yang rusak dikarenakan usia yang sudah lama. bagian penutup atap tersebut kemudian digantikan dengan bentuk yang harus sama dengan model lama. tetapi, walaupun ada 1 kerusakan, tidak semua penutup atap yang diganti, melainkan hanya beberapa dan tetap mempertahankan keaslian penutup  atap yang lama.

sumber:
Thamrin Diana, Arifianto Felik. 2015.  “KERAGAMAN BUDAYA TIONGHOA PADA  INTERIOR GEREJA KATOLIK  (Studi kasus: Gereja Santa Maria De Fatima di Jakarta Barat)”. Universitas Kristen Petra – Surabaya

Gereja Santa Maria de Fatima sebagai contoh arsitektur kebudayaan cina


Salah satu bangunan yang kental dengan budaya Cina yaitu bangunan Gereja Santa Maria de Fatima. Bangunan gereja ini memiliki hiasan singa, tulisan Mandarin dan hiasan pintu berwarna merah dan kuning dan atap bangunan yang berbentuk wallet menandai pemiliknya terdahulu yang merupakan bangsawan. Gereja ini memperlihatkan berdirinya gereja di antara kentalnya budaya Cina di Glodok ini. Berdirinya Gereja Katolik ini tidak terlepas dari peran misionaris-misionaris yang berkarya di tengah masyarakat Cina.

Asal penamaan Gereja Santa Maria de Fatima berasal dari nama ibu Yesus yaitu Bunda Maria yang dikenal sebagai ibu suci dan bijaksana. Asal kata Fatima berhubungan dengan peristiwa penampakan Bunda Maria di hadapan tiga anak kecil yang merupakan gembala domba di Fatima. Fatima merupakan salah satu daerah kota di Portugis/Portugal. Pertemuan Bunda Maria dan ketiga anak kecil ini digambarkan dalam miniatur replika Bukit Maria de Fatima yang dibangun di sebelah kiri gereja. 
miniatur replika Bukit Maria de Fatima
sumber : dokumentasi pribadi 13 April 2018




Bangunan Gereja Santa Maria de Fatima ini dibeli oleh Willhelmus Van Eeden SJ, pastur Belanda yang sebelumnya berkarya di Mangga Besar. Pembelian bangunan ini sesuai dengan tugas dari Vikaris Apostolik Jakarta, Mgr. Adrianus Djajasapoetra pada tahun 1953, Tanah dan bangunan  tersebut dibeli dari seorang letnan bergelar Luitenant der Chinezen bermarga Tjioe yang memimpin daerah Glodok masa pendudukan Belanda. “Tanah sekitar satu hektar yang meliputi kompleks Gereja hingga pagar tinggi di sisi belakang dan kompleks sekolah Ricci I sekarang ini dibeli seharga Rp. 3.000.000,00”.(Paroki Santa Maria, 1995). Pembayaran uang ini tidak dibayarkan secara tunai, pembayaran tersebut dapat dilunasi pada tahun 1954 dengan mengusahakan usaha kursus bahasa asing seperti Inggris dan Mandarin dan donatur di Gereja.



“Bangunan gereja yang merupakan rumah Luitenant der Chinezen ini memiliki bagian-bagiannya yaitu, halaman depan, ruang tamu, halaman tengah sebagai taman, ruang doa keluarga dan tempat tinggal keluarga.”(Paroki Santa Maria, 1995). Terdapat tiga bangunan yang berdiri di kompleks rumah ini, yang mana dua bangunannya mengapit ruang terbuka yang digunakan sebagai tempat keluarga dan ruang doa keluarga. Ruang terbuka tersebut, ditutup dengan tembok yang kemudian menjadi ruang gereja. Tempat sembahyang sebelumnya digunakan sebagai altar gereja. Di depan bangunan gereja terdapat dua patung singa yang melambangkan kebangsawanan pemiliknya terdahulu. Pembangunan fasilitas gereja terus dilaksanakan yaitu pembangunan kapel pertama Toasebio pun telah berdiri tahun 1954. Kapel ini memanjang dari pintu gerbang gereja hingga sebatas pilar/ tiang besar. Kapel ini digunakan untuk tempat misa jemaat Katolik.


Tata letak ruang Gereja Katolik Santa Maria De Fatima
sumber: dokumentasi Paroki Toasebio, 2009
Patung Singa
sumber : dokumentasi pribadi 13 April 2018


Peletakan ruang utama gereja terdapat di pusat bangunan, sedangkan ruang lainnya berada di bagian depan, belakang, samping kanan dan kiri sehingga membentuk pola tapal kuda. Pola penataan ruang pada gereja ini tampak simetris dengan ruang terbuka atau courtyard yang berulang dan bertahap sehingga terlihat susunan atap yang semakin meninggi ke belakang. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi bangunan semakin penting artinya sebagai bangunan utama. Bangunan utama ini ditempati oleh generasi tertua yang sekarang difungsikan sebagai pastoran, sedangkan generasi yang lebih muda menempati bagian kanan dan kiri bangunan yang menghadap ke arah courtyard yang sekarang dijadikan sebagai ruang sekretariat, ruang pertemuan dan ruang serbaguna. Outer courtyard pada gereja ini dibangun dan digunakan sebagai area panti umat yang mampu menampung 600 umat, sedangkan pada inner courtyard tetap dipertahankan sebagai taman. Peletakan main gate pada gereja ini mengalami perubahan letak, yaitu berada di tengah sehingga tidak sesuai dengan main gate pada rumah tinggal khas Tionghoa yang berada di samping bangunan. Denah pada gereja ini sangatlah berbeda dengan konsep gereja Katolik yang pada umumnya, letak altar atau ruang utama terletak pada bagian paling belakang bangunan.
Denah Gereja Katolik Santa Maria De Fatima
sumber: dokumentasi Paroki Toasebio, 2009


sumber:

Thamrin Diana, Arifianto Felik. 2015.  “KERAGAMAN BUDAYA TIONGHOA PADA  INTERIOR GEREJA KATOLIK  (Studi kasus: Gereja Santa Maria De Fatima di Jakarta Barat)”. Universitas Kristen Petra – Surabaya

Purba Melina, 2013. “Pengaruh Gereja Santa Maria de Fatima  Terhadap Masyarakat Cina di Glodok 1955-1970” Universitas Indonesia - Depok

Selasa, 29 Mei 2018

Sejarah bangunan lama Gereja Katolik Santa Maria de Fatima

(dokumentasi pribadi 13 April 2018)

Pada tulisan kali ini, saya akan membahas sejarah salah satu bangunan tua yang berada di jalan Kemenangan III No.47, Tamansari, Glodok, RT.3/RW.2, Glodok, Tamansari, Kota Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11120 yang biasa disebut juga sebagai kawasan Pecinan Glodok. Bangunan yang berfungsi sebagai Gereja Katolik ini, sebelumnya difungsikan sebagai rumah tinggal seorang bangsawan Tionghoa.
Glodok merupakan bagian dari kota lama Jakarta, yang sejak zaman hindia-belanda disebut sebagai daerah Pecinan. Mayoritas Penduduk yang tinggal di Glodok merupakan keturunan bangsa Tionghoa.

Sejarah 


Gereja Santa Maria de Fatima mulai berdiri ketika adanya tugas pelayanan dan pewartaan dari Vikaris Apostolik Jakarta, Mgr. Adrianus Djajasepoetra SJ kepada Pater Wilhelmus Krause Van Eeden SJ. Tujuan awal didirikannya gereja ini adalah sebagai gereja, sekolah dan asrama bagi orang-orang Hoakiau ( Cina Perantau) yang berada di sekitar Glodok.

Sebagai langkah awal, dipilihlah Pater Antonius Loew SJ dari Austria sebagai kepala paroki dan Pater Leitenbauer sebagai pengelola sekolah yang pertama. Sekolah itu dinamakan Sekolah Ricci, berasal dari nama imam missionaries Yesuit , Matteo Ricci. Usaha Pater Leitenbauer, yang dibantu oleh Pater Braunmandl. Pater Loew dan Pater Tcheng, berjalan lancar, dan mereka juga membuka kursus bahasa Inggris, Jerman dan Mandarin, yang terkenal dengan sebutan Ricci Evening School, dan asrama yang di kelola oleh Pater Tcheng diberi nama Ricci Youth Center.

Pada tahun 1953, dibelilah sebidang tanah seluas 1 hektar, untuk digunakan sebagai kompleks gereja dan sekolah, dari seorang kapitan (sebutan untuk seorang Lurah Keturunan Tionghoa di Zaman Penjajahan Belanda) bermarga Tjioe dengan harga sebesar 3 juta rupiah dan pada tahun 1954, tanah dan bangunan itu resmi menjadi milik gereja. Di atas tanah itu berdiri sebuah bangunan utama dan 2 bangunan mengapit bangunan utama.

Pada tahun 1954, perayaan ekaristi pertama dilaksanakan di dalam gereja dan dipimpin oleh 4 orang imam dan diikuti oleh 16 orang umat. Minggu-minggu berikutnya jumlah umat semakin bertambah dan misa dimajukan menjadi puku 06.00 sedangkan pada pukul 07.30 digunakan untuk misa berbahasa mandarin.

Sejak tahun 1959, pemerintah mulai melarang penggunaan bahasa Mandarin sehingga banyak orang keturunan Tionghoa yang tidak dapat berbahasa Mandarin. Hal ini sangat berpengaruh pada pelaksanaan misa gereja. Pihak gereja harus mendatangkan pastur yang dapat berbahasa Indonesia agar misa dapat tetap berjalan. Sampai sekarang misa dengan menggunakan bahasa Mandarin dilakukan setiap hari Minggu sore, demi mempertahankan keragaman budaya Tionghoa di daerah Pecinan. Keberadaan gereja ini sangat mempengaruhi komposisi umatnya, yang sebagian besar adalah orang-orang Tionghoa. Seiring perkembangan jumlah umatnya, pihak gereja membangun courtyard yang menjadi area panti umat yang kini mampu menampung 600 umat. Proses pembangunan gereja ini memanfaatkan bangunan-bangunan  yang sudah ada tanpa merubah struktur bangunan yang ada sehingga masih tampak keasliannya. Tidak hanya gaya arsitektur dan ragam hias, bahkan dalam melakukan ritual keagamaan dan memberikan pelayanannya, gereja ini tetap mempertahankan beragam budaya dan tradisi Tionghoa.

Semakin lama umatpun semakin bertambah, maka pada tahun 1968, perayaan ekaristi diadakan didalam ruang kelas di kompleks sekolah Ricci, dan diberkati oleh Mgr. Papalardo (duta besar Vatikan waktu itu), sementara kapel lama direkonstruksi ulang menjadi gereja yang lebih besar. Gereja baru mampu menampung 600 orang umat, bangunan kanan digunakan untuk pastoran dan kirinya dialihkan fungsi dari ruangan kelas, menjadi ruangan seksi organisasi.

Pada tahun 1970, gereja Santa Maria de Fatima diserah terimakan dari Serikat Jesuit kepada Serikat Xaverian, yang diwakili oleh Pater Pietro Grappoli S.X. Tetapi karena sakit beliau akhirnya digantikan oleh Pater Otello Pancani S.X.

Setelah kedatangan Pater Otello, gereja di renovasi secara besar-besaran, pergantian lantai dan langit-langit. Penataan tempat untuk patung Maria De Fatima, yang berasal dari Ortisei (Italia Utara) dan Hati Kudus Yesus, yang diberkati oleh Mgr. Leo Soekoto SJ. Lalu dipasang pula ukiran kayu Yesus yang disalib bersama 2 orang penjahat yang dikirim dari Italia pada jaman Pater Liliano. Selain itu lahirlah organisasi-organisasi seperti Koor paroki, Legio Mariae, Putera Altar, Kelompok-keompok katekumen baru, Sekolah minggu dan pertemuan-pertemuan di lingkungan.

Pada tahun 1989, Pater Yosef Bagnara diangkat menjadi Kepala Paroki menggantikan Pater Vincenzo yang ditugaskan di Pulau Nias. Selain jumlah umat yang semakin bertambah, terjadi pula pemekaran di wilayah yang ada di Paroki menjadi 8 wilayah dan 25 lingkungan. Selain itu muncul pula seksi-seksi baru seperti Sant’ Egidio, HAK dan KKMK. Selanjutnya jabatan kepala paroki dipegang oleh Pastor Guido Paolucci, dan pada tahun 2011 oleh Pastor Germano Framarin.

Sekarang ini, Bangunan gereja katolik Menurut SK Gubernur yang tertera pada papan yang terlihat di dekat bangunan tersebut, adalah bangunan yang dilindungi oleh pemerintah.
(dokumentasi pribadi 13 April 2018)

PERHATIAN
SK GUBERNUR NO. cb.11/12/72. TANGGAL 10 JANUARI 1972 (LEMBARAN DAERAH NO. 60/1972)
  1.  GEDUNG INI DILINDUNGI UNDANG-UNDANG MONUMEN STBL 1931 NO. 238
  2. SEGALA TINDAKAN BERUPA PEMBONGKARAN, PERUBAHAN, PEMINDAHAN DI ATAS BANGUNAN-BANGUNAN INI HANYA DAPAT DILAKUKAN SEIZIN GUBERNUR KEPALA DAERAH
  3. SETIAP PELANGGARAN AKAN DITUNTUT SESUAI UNDANG-UNDANG YANG BERLAKU
PEMERINTAH DKI JAKARTA
DINAS MUSEUM DAN SEJARAH

sumber: 
  • Thamrin Diana, Arifianto Felik. 2015.  “KERAGAMAN BUDAYA TIONGHOA PADA  INTERIOR GEREJA KATOLIK  (Studi kasus: Gereja Santa Maria De Fatima di Jakarta Barat)”. Universitas Kristen Petra – Surabaya 
  • Paroki Santa Maria De Fatima. “Sejarah Gereja Santa Maria de Fatima”. http://santamariadefatima.org/sejarah-gereja-santa-maria-de-fatima/# (diakses Mei 2018)

Senin, 29 Januari 2018

Gedung Juang Sebagai Bangunan Arsitektur Kolonial Belanda

sumber: dokumen pribadi 17 Maret 2017

“Belanda yang menjajah Indonesia selama kurang lebih 3,5 abad memiliki banyak pengaruh terhadap gaya arsitektur Bangunan di Indonesia”

Kabupaten Bekasi masih memiliki gedung bersejarah peninggalan pra masa kemerdekaan yang dikenal sebagai Gedung Tinggi yang terletak di jalan Sultan Hasanudin, dekat Pasar Tambun dan Stasiun kereta api Tambun. Gedung Tinggi ini sekarang dikenal sebagai gedung juang 45. Masyarakat yang kebanyakan bekerja sebagai buruh tani pada era kolonialisme mengabdi kepada tuan tanah yang menguasai berbagai wilayah di Bekasi. Bangunan ini dibangun oleh tuan tanah Kouw Tjing Kee pada tahun 1910.
Arsitektur klonial Belanda adalah gaya desain yang cukup popular di Netherland tahun 1624-1820. Ciri-cirinya yakni (1) facade simetris, (2) material dari batu bata atau kayu tanpa pelapis, (3) entrance mempunyai dua daun pintu, (4) pintu masuk terletak di samping bangunan, (5) denah simetris, (6) jendela besar berbingkai kayu, (7) terdapat dormer (bukaan pada atap) Wardani, (2009).

Gaya Arsitektur Indische Empire

Arsitektur Indische Empire adalah gaya yang berkembang di abad ke-19 di Hindia Belanda. Gaya arsitektur dipopulerkan oleh Gubernur Jenderal HW Daendles (1808-1811). Ciri-ciri gaya arsitektur Indische Empire, sebagai berikut (Hadinoto, 2010: 149): 1. Lantai berbentuk rencana simetri
  • Di tengah ada ruang tengah, yang terdiri dari kamar tidur utama dan kamar tidur lain.
  • Kamar Central secara langsung berkaitan dengan teras depan dan belakang (Voor Galerij dan Achter) 
  • Teras biasanya sangat luas dan pada salah satu ujung ada deretan Yunani atau kolom gaya Romawi (Doric, Ionic, Corinthian).
  • Dapur, kamar mandi/WC, penyimpanan dan area layanan lainnya adalah bagian yang terpisah dari bangunan utama dan terletak di bagian belakang.
  • Kadang-kadang di samping bangunan utama ada paviliun, yang digunakan sebagai kamar tidur tamu.

Fasade merupakan elemen arsitektur terpenting yang mampu menyuarakan fungsi dan makna sebuah bangunan (Krier, 1988: 122). Secara etimologis, kata fasad atau facade (inggris) memiliki akar kata yang cukup panjang. Fasad berasal dari bahasa prancis, yaitu facade atau faccia. facciata sendiri berasal dari bahasa italia, sedangkaan faccia dalam bahasa latin yang diambil dari kata faccies dan pada perkembangan nya menjadi face dalam bahasa inggris. face mengartikan wajah atau muka, yaitu sisi depan kepala manusia, demikian pula bagi sebuah bangunan.

Ciri tampak bangunan pada Gaya Indische Empire (Ages 18-19) adalah dominan dengan kolom yang bergaya yunani, terdapatnya teras depan, teras belakang, dan simetri. Bagian pada bangunan terbagi menjadi 3 yaitu kaki, badan, dan atap. Pada bagian pondasi karna tidak nampak maka tidak perlu dijelaskan secara detail. Pada bagian badan terdapat banyak komponen seperti lantai, dinding, kolom, pintu, jendela, dan plafond. Sedangkan pada bagian kepala terdapat atap.

Pusat perhatian yang terlihat secara visual adalah pada area depan dan atap yang menjulang tinggi disertai dormer karena area depan dan atap merupakan sudut pandang pertama yang dapat terlihat secara cepat. Volume bangunan pada Gedung Juang 45 Bekasi bervolume massif dan berbentuk kubus. Bentuk volume bangunan yang massif membuat pola ruang pada bangunan berdasarkan aspek bentuk, ukuran, jarak serta ornamen-ornamen yang terdapat pada fasade tersebut menyebabkan bentuk fasade dari bangunan ini memiliki kesan yang sangat simetris.

Bangunan yang terkesan monumental, serambi muka dan belakang terbuka dilengkapi dengan pilar-pilar bergaya yunani, beratap perisai, dan terdapat koridor tengah yang menghubungkan antar ruang satu dengan ruang lainnya. Kesan megah dan monumental pada bangunan kolonial ini bermaksud untuk menegaskan status pemilik bangunan pada masa itu sebagai kaum penguasa.  

Dinding ekterior bangunan Gedung Juang 45 Bekasi menggunakan dinding bata dengan ketebalan 25cm. dinding tebal merupakan ciri bangunan kolonial yang berfungsi untuk menahan panas dari luar. Dinding pada keseluruhan bangunan berwarna monokrom. Kolom yang ada pada bangunan Gedung Juang 45 Bekasi ada 3 jenis. Kolom yang pada bagian terluar bangunan yang juga berfungsi untuk menopang struktur atap merupakan kolom paling besar dengan ukuran 50x50.

Ballustrade  pada bangunan gedung juang 45 terlihat menyatu dengan dinding eksterior pada bangunan. Ballustrade sebagai pembatas pada teras maupun balkon memiliki celah sebagai arah masuk angin dari luar.

Atap yang dipakai pada bangunan Gedung Juang 45 Bekasi ini merupakan atap perisai yang ditumpuk dan terbagi-bagi menjadi susunan atap yang kompleks. Dormer sangat terlihat jika kita memperhatikan bangunan gedung juang 45 yang terletak di paling atas, dengan bentuk meramping, pada bagian depan terlihat pendek dan pada bagian samping terlihat memanjang. Pada dormer tersebut terdapat kaca-kaca sebagai pencahayaan untuk ruang di dalam gedung juang 45.

Gedung juang 45 memiliki ciri-ciri sebagai bangunan kolonial belanda yang bisa dilihat dari fasad bangunan tersebut. Bentuknya yang simetri dengan tambahan dormer sebagai ciri khas nya.

Sumber
http://projectmedias.blogspot.co.id/2014/03/pengertian-fasade-bangunan.html
UNIVERSITAS BRAWIJAYA, KARAKTER SPASIAL DAN VISUAL PADA BANGUNAN GEDUNG JUANG 45 BEKASI JAWA BARAT oleh Dewa Gde Agung Wibawa, Antariksa, Abraham M. Ridjal
TEMU ILMIAH IPLBI 2015 , Pengaruh Gaya Arsitektur Kolonial Belanda pada Bangunan Bersejarah di Kawasan Manado Kota Lama  oleh Veronica A. Kumurur
.