Minggu, 15 Juli 2018

adaptasi Bangunan Cagar Budaya Gereja Santa Maria de Fatima



tampak bangunan
sumber: dokumentasi penulis 13 april 2018

Bangunan Cagar Budaya adalah sebuah kelompok bangunan bersejarah dan lingkungannya, yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan nilai sosial budaya masa kini maupun masa lalu (Burra Charter, 1992: 21). 

Peraturan Menteri  No. 01/PRT/M/ 2015 tentang gedung cagar budaya yang  dilestarikan; Pasal 16 yang menyatakan “Adaptasi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 14 ayat (3) huruf b dilakukan melalui upaya pengembangan bangunan gedung cagar budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan cara melakukan perubahan terbatas yang tidak mengakibatkan penurunan nilai penting atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.” 

Upaya Mempertahankan Bangunan Cagar Budaya dalam mempertahankan bangunan cagar budaya terdapat rambu-rambu dan kebijakan dalam pelaksanaannya, yang diatur secara peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah Undang-undang No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya; 
Pasal 83 yang menyatakan: 
  1. Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan: 
    • Ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya; dan/atau
    • Ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi. 
  2. Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: 
    • Mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada cagar budaya; 
    • Menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan; 
    • Mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau 
    • Mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya

Gereja Katolik Santa Maria De Fatima awalnya merupakan rumah tinggal seorang bangsawan Tionghoa yang berada di pecinan kota Jakarta. Meskipun saat ini bangunan tersebut telah difungsikan sebagai sebuah gereja Katolik, budaya Tionghoa yang dianut oleh penghuni dan masyarakat tetap dipertahankan hingga sekarang. Adanya penerapan keragaman budaya Tionghoa pada sebuah tempat ibadah Katolik menjadikan bangunan Gereja Santa Maria De Fatima
Dinding bagian depan gereja dan partisi
sumber: dokumentasi penulis 13 april 2018

Dinding bagian depan gereja terdapat motif ornamen yaitu motif bunga poeny yang melambangkan kehormatan, simbol meander melambangkan panjang umur, dan pola geometris atau diaper pattern. Pola geometris yang ada berbentuk lingkaran, merupakan simbol surga dan kotak, merupakan simbol bumi sehingga diletakkan di bagian atas dinding. Kombinasi dari ragam hias ini menunjukkan derajat dari pemilik rumah yang mengharapkan kebahagiaan dalam kehidupan yang seimbang (balance). Warna yang digunakan adalah warna merah yang melambangkan kebahagiaan, warna kuning yang melambangkan kemuliaan dan warna biru (air) yang melambangkan ketenangan

Partisi terletak di bagian depan pintu utama gereja yang berfungsi untuk membatasi cahaya berlebih agar tidak masuk ke dalam ruang dalam gereja. Material yang digunakan adalah kayu warna merah dan warna emas pada ukiran maupun ornamennya. Penggunaan warna merah dan emas ini menunjukkan status dari pemilik atau penggunanya. Ragam hias ukiran berupa diaper pattern, sepasang kura-kura yang melambangkan umur panjang dan motif awan melambangkan kesaktian. Ornamen berupa motif geometris yang melambangkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian (balance). Bentuk partisi gereja dan ragam hiasnya simetri, dengan peletakannya yang simetri juga.

pintu utama 
sumber: dokumentasi penulis 13 april 2018
 Pintu yang menggunakan warna merah dan warna emas pada ornamen dan ukirannya. Warna merah dan emas ini menunjukkan tingkat kesakralan 
jendela pada bagian depan
sumber: dokumentasi penulis 13 april 2018

Jendela di bagian depan gereja ini terdapat di bagian kanan dan kiri pintu utama berfungsi untuk memasukan cahaya matahari ke dalam ruangan. Material yang digunakan adalah kayu warna merah dan emas pada lis kusennya. Jendela ini diberi teralis kayu warna emas. Jendela ruang sekretariat juga menggunakan kayu warna merah dan warna emas pada lis kusen. Jendela ini juga diberi teralis besi warna emas. Penggunaan warna merah dan emas menunjukkan pentingnya status dari bangunan ini, yaitu gereja. Motif yang ada pada teralis ini menggunakan pola geometris. Pola geometris ini melambangkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian (balance). 

kolom, elemen dekoratif, dan atap 
sumber: dokumentasi penulis 13 april 2018
Kolom di bagian depan gereja ini menggunakan kayu. Warna merah melambangkan kebahagiaan, sedangkan warna emas melambangkan kekayaan dan kemakmuran yang umumnya dipakai di istana-istana raja. Penggunaan warna ini menunjukkan suatu kedudukan atau bangunan penting, yaitu gereja dan harapan akan kebahagiaan bagi pengguna/pemiliknya. 
Elemen dekoratif terdapat pada bagian depan gereja, area panti umat, area panti imam, dan area lainnya yang ada di bagian kanan dan kiri bangunan. Struktur ini berhubungan dengan kolom dan balok. Struktur menggunakan material kayu. Bentuk struktur menyerupai bentuk ekor burung (owl-tailed). Struktur pada bagian depan gereja menggunakan warna merah dan warna emas untuk menunjukkan suatu kedudukan atau bangunan penting, yaitu gereja dan harapan akan kebahagiaan bagi pengguna atau pemiliknya. Terdapat ukiran naga warna emas, bunga teratai/ lotus warna merah dan ornamen sepasang naga warna emas yang diharapkan bangunan ini akan selalu aman dan jauh dari hal yang buruk atau tidak baik. 
Atap dalam bagian depan gereja menggunakan kayu warna hijau dan balok kayu warna merah. Warna merah merupakan simbol Yang, unsur api yang melambangkan kebahagiaan, warna hijau merupakan simbol Yin, melambangkan kedamaian, sedangkan warna emas melambangkan kekayaan dan kemakmuran yang umumnya dipakai pada istanaistana raja. Keseimbangan pada Yin & Yang dipercaya dapat membawa keberuntungan bagi penggunanya. Penggunaan material pada plafon area pintu utama, area meja altar, dan tabernakel gereja juga menggunakan kayu yang dicat warna putih dan balok kayu yang dicat warna abu-abu. Penggunaan warna putih (Yang) dan warna abu-abu (Yin) bertujuan untuk saling melengkapi dalam mencapai keseimbangan. 

untuk info tambahan, penulis bertanya kepada penjaga gereja santa maria de fatima. bagaimana jika ada kerusakan pada bagian bangunan tersebut? lalu penjaga tersebut menjelaskan bahwa pernah ada perbaikan penutup atap yang rusak dikarenakan usia yang sudah lama. bagian penutup atap tersebut kemudian digantikan dengan bentuk yang harus sama dengan model lama. tetapi, walaupun ada 1 kerusakan, tidak semua penutup atap yang diganti, melainkan hanya beberapa dan tetap mempertahankan keaslian penutup  atap yang lama.

sumber:
Thamrin Diana, Arifianto Felik. 2015.  “KERAGAMAN BUDAYA TIONGHOA PADA  INTERIOR GEREJA KATOLIK  (Studi kasus: Gereja Santa Maria De Fatima di Jakarta Barat)”. Universitas Kristen Petra – Surabaya

Gereja Santa Maria de Fatima sebagai contoh arsitektur kebudayaan cina


Salah satu bangunan yang kental dengan budaya Cina yaitu bangunan Gereja Santa Maria de Fatima. Bangunan gereja ini memiliki hiasan singa, tulisan Mandarin dan hiasan pintu berwarna merah dan kuning dan atap bangunan yang berbentuk wallet menandai pemiliknya terdahulu yang merupakan bangsawan. Gereja ini memperlihatkan berdirinya gereja di antara kentalnya budaya Cina di Glodok ini. Berdirinya Gereja Katolik ini tidak terlepas dari peran misionaris-misionaris yang berkarya di tengah masyarakat Cina.

Asal penamaan Gereja Santa Maria de Fatima berasal dari nama ibu Yesus yaitu Bunda Maria yang dikenal sebagai ibu suci dan bijaksana. Asal kata Fatima berhubungan dengan peristiwa penampakan Bunda Maria di hadapan tiga anak kecil yang merupakan gembala domba di Fatima. Fatima merupakan salah satu daerah kota di Portugis/Portugal. Pertemuan Bunda Maria dan ketiga anak kecil ini digambarkan dalam miniatur replika Bukit Maria de Fatima yang dibangun di sebelah kiri gereja. 
miniatur replika Bukit Maria de Fatima
sumber : dokumentasi pribadi 13 April 2018




Bangunan Gereja Santa Maria de Fatima ini dibeli oleh Willhelmus Van Eeden SJ, pastur Belanda yang sebelumnya berkarya di Mangga Besar. Pembelian bangunan ini sesuai dengan tugas dari Vikaris Apostolik Jakarta, Mgr. Adrianus Djajasapoetra pada tahun 1953, Tanah dan bangunan  tersebut dibeli dari seorang letnan bergelar Luitenant der Chinezen bermarga Tjioe yang memimpin daerah Glodok masa pendudukan Belanda. “Tanah sekitar satu hektar yang meliputi kompleks Gereja hingga pagar tinggi di sisi belakang dan kompleks sekolah Ricci I sekarang ini dibeli seharga Rp. 3.000.000,00”.(Paroki Santa Maria, 1995). Pembayaran uang ini tidak dibayarkan secara tunai, pembayaran tersebut dapat dilunasi pada tahun 1954 dengan mengusahakan usaha kursus bahasa asing seperti Inggris dan Mandarin dan donatur di Gereja.



“Bangunan gereja yang merupakan rumah Luitenant der Chinezen ini memiliki bagian-bagiannya yaitu, halaman depan, ruang tamu, halaman tengah sebagai taman, ruang doa keluarga dan tempat tinggal keluarga.”(Paroki Santa Maria, 1995). Terdapat tiga bangunan yang berdiri di kompleks rumah ini, yang mana dua bangunannya mengapit ruang terbuka yang digunakan sebagai tempat keluarga dan ruang doa keluarga. Ruang terbuka tersebut, ditutup dengan tembok yang kemudian menjadi ruang gereja. Tempat sembahyang sebelumnya digunakan sebagai altar gereja. Di depan bangunan gereja terdapat dua patung singa yang melambangkan kebangsawanan pemiliknya terdahulu. Pembangunan fasilitas gereja terus dilaksanakan yaitu pembangunan kapel pertama Toasebio pun telah berdiri tahun 1954. Kapel ini memanjang dari pintu gerbang gereja hingga sebatas pilar/ tiang besar. Kapel ini digunakan untuk tempat misa jemaat Katolik.


Tata letak ruang Gereja Katolik Santa Maria De Fatima
sumber: dokumentasi Paroki Toasebio, 2009
Patung Singa
sumber : dokumentasi pribadi 13 April 2018


Peletakan ruang utama gereja terdapat di pusat bangunan, sedangkan ruang lainnya berada di bagian depan, belakang, samping kanan dan kiri sehingga membentuk pola tapal kuda. Pola penataan ruang pada gereja ini tampak simetris dengan ruang terbuka atau courtyard yang berulang dan bertahap sehingga terlihat susunan atap yang semakin meninggi ke belakang. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi bangunan semakin penting artinya sebagai bangunan utama. Bangunan utama ini ditempati oleh generasi tertua yang sekarang difungsikan sebagai pastoran, sedangkan generasi yang lebih muda menempati bagian kanan dan kiri bangunan yang menghadap ke arah courtyard yang sekarang dijadikan sebagai ruang sekretariat, ruang pertemuan dan ruang serbaguna. Outer courtyard pada gereja ini dibangun dan digunakan sebagai area panti umat yang mampu menampung 600 umat, sedangkan pada inner courtyard tetap dipertahankan sebagai taman. Peletakan main gate pada gereja ini mengalami perubahan letak, yaitu berada di tengah sehingga tidak sesuai dengan main gate pada rumah tinggal khas Tionghoa yang berada di samping bangunan. Denah pada gereja ini sangatlah berbeda dengan konsep gereja Katolik yang pada umumnya, letak altar atau ruang utama terletak pada bagian paling belakang bangunan.
Denah Gereja Katolik Santa Maria De Fatima
sumber: dokumentasi Paroki Toasebio, 2009


sumber:

Thamrin Diana, Arifianto Felik. 2015.  “KERAGAMAN BUDAYA TIONGHOA PADA  INTERIOR GEREJA KATOLIK  (Studi kasus: Gereja Santa Maria De Fatima di Jakarta Barat)”. Universitas Kristen Petra – Surabaya

Purba Melina, 2013. “Pengaruh Gereja Santa Maria de Fatima  Terhadap Masyarakat Cina di Glodok 1955-1970” Universitas Indonesia - Depok