Peranan perencanaan fisik
pembangunan
·
Lingkup nasional
·
Lingkup Regional
·
Lingkup Lokal
·
Lingkup Sektor swasta
Perencanaan fisik pembangunan pada
hakikatnya dapat diartikan sebagai suatu usaha pengaturan dan penataan
kebutuhan fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan berbagai kegiatan
fisiknya.
Lingkup nasional
Kewenangan semua instansi di
tingkat pemerintah pusat berada dalam lingkup kepentingan secara sektoral. Departemen-departemen
yang berkaitan langsung dengan perencanaan fisik khususnya terkait dengan
pengembangan wilayah antara lain adalah :
¤ Dept. Pekerjaan Umum
¤ Dept. Perhubungan
¤ Dept. Perindustrian
¤ Dept. Pertanian
¤ Dept. Pertambangan
¤ Energi, Dept. Nakertrans.
Dalam hubungan ini peranan
Bappenas dengan sendirinya juga sangat penting. Perencanaan fisik pada tingkat
nasional umumnya tidak mempertimbangkan distribusi kegiatan tata ruang secara
spesifik dan mendetail. Tetapi terbatas pada penggarisan
kebijaksanaan umum dan kriteria administrasi pelaksanaannya.
Misalnya:
suatu program subsidi untuk
pembangunan perumahan atau program perbaikan kampung pada tingkat nasional
tidak akan dibahas secara terperinci dan tidak membahas dampak spesifik program
ini pada suatu daerah.
Yang dibicarakan dalam lingkup
nasional ini hanyalah, daerah atau kota yang memenuhi kriteria yang ditetapkan
dan studi kelayakan dalam skala yang luas. Jadi pemilihan dan penentuan daerah
untuk pembangunan perumahan tadi secara spesifik menjadi wewenang lagi dari
pemerintaan tingkat lokal.
Meskipun rencana pembangunan
nasional tidak dapat secara langsung menjabarkan perencanan fisik dalam tingkat
lokal tetapi sering kali bahwa program pembangunan tingkat nasional sangat
mempengaruhi program pembangunan yang disusun oleh tingkat lokal.
Sebagai contoh, ketidaksingkronan program
pendanaan antara APBD dan APBN, yang sering mengakibatkan kepincangan
pelaksanaan suatu program pembangunan fisik, misalnya; bongkar pasang untuk
rehabilitasi jaringan utilitas kota.
LINGKUP REGIONAL
Instansi yang berwenang dalam
perencanaan pembangunan pada tingkatan regional di Indonesia adalah Pemda
Tingkat I, disamping adanya dinas-dinas daerah maupun vertikal (kantor
wilayah).
Contoh; Dinas PU Propinsi, DLLAJR,
Kanwil-kanwil. Sedang badan yang mengkoordinasikannya adalah Bappeda Tk. I di
setiap provinsi.
Walaupun perencanaan ditingkat kota
dan kabupaten konsisten sejalan dengan ketentuan rencana pembangunan yang telah
digariskan diatas (tingkat nasional dan regional) daerah tingkat II itu sendiri
masih mempunyai kewenangan mengurus perencanaan wilayahnya sendiri Yang penting
dalam hal ini pengertian timbal balik, koordinatif.
Contoh, misalnya ada perencanaan
fisik pembangunan pendidikan tinggi di suatu kota, untuk hal ini, selain
dilandasi oleh kepentingan pendidikan pada tingkat nasional juga perlu
dipikirkan implikasi serta dampaknya terhadap perkembangan daerah tingkat II
dimana perguruan tinggi tersebut dialokasikan.
Masalah yang sering mennyulitkan
adalah koordinasi pembangunan fisik apabila berbatasan dengan kota atau wilayah
lain. Ada instansi khusus lainnya yang cukup berperan
dalam perencanaan tingkat regional misalnya otorita atau proyek khusus.
Contoh otorita Batam, Otorita proyek
jatiluhur, DAS.
LINGKUP LOKAL
Penanganan perencanaan pembangunan
ditingkat local seperti Kodya atau kabupaten ini biasanya dibebankan pada
dinas-dinas,
contoh: Dinas Pekerjaan Umum,
Dinas Tata Kota, Dinas Kebersihan, Dinas Pengawasan Pembangunan Kota, Dinas
Kesehatan, Dinas PDAM.
Koordinasi perencanaan berdasarkan
Kepres No.27 tahun 1980 dilakukan oleh BAPPEDA Tk.II. Saat ini perlu diakui
bahwa sering terjadi kesulitan koordinasi perencanaan. Masalah ini semakin
dirasakan apabila menyangkut dinas-dinas eksekutif daerah dengan dinas-dinas
vertikal.
Di Amerika dan Eropa sejak 20
tahun terakhir telah mengembangkan badan-badan khusus darai pemerintah kota
untuk menangani program mota tertentu, seperti program peremajaan kota (urban
renewal programmes). Badan otorita ini diberi wewenang khusus untuk
menangani pengaturan kembali perencanaan fisik terperinci bagian-bagian kota.
LINGKUP SWASTA
Lingkup kegiatan perencanaan oleh
swasta di Indonesia semula memang hanya terbatas pada skalanya seperti pada
perencanaan perumahan, jaringan utiliyas, pusat perbelanjaan dll. Dewasa ini lingkup skalanya sudah
luas dan hampir tidak terbatas.
Badan-badan usaha konsultan swasta
yang menjamur adalah indikasi keterlibatan swasta yang makin meluas. Semakin
luasnya lingkup swasta didasari pada berkembangnya tuntutan layanan yang
semakin luas dan profesionalisme.
Kewenangan pihak swasta yang
semakin positif menjadi indikator untuk memicu diri bagi Instansi pemerinta
maupun BUMN. Persaingan yang muncul menjadi tolok ukur bagi tiap-tiap
kompetitor (swasta dan pemerintah) dan berdampak pada peningkatan kualitas
layanan/produk. Pihak swasta terkecil adalah individu atau
perorangan. Peran individu juga sangat berpengaruh terhadap pola perencanaan
pembangunan secara keseluruhan.
Contoh apabila seseorang membuat rumah maka ia
selayaknya membuat perencanaan fisik rumahnya dengan memenuhi peraturan yang
berlaku.
Taat pada peraturan bangunan, aturan
zoning, perizinan (IMB) dan sebaginya. Kepentingannya dalam membangun harus
singkron dengan kepentingan lingkungan disekitarnya, tataran lokal hingga pada
tataran yang lebih luas.
dibawah ini terdapat artikel mengenai perencanaan pembangunan
Urgensi Data dan Informasi
Berkaca dari Hambalang
Keinginan vs Kebutuhan
Perilaku Masyarakat
Kualitas Informasi
Barometer Perencanaan Pembangunan
dibawah ini terdapat artikel mengenai perencanaan pembangunan
Urgensi Data dan Informasi
Menunggu reformasi BPS menjadi pusat data di
Indonesia kelak, kita tidak dapat ingkari bahwa keberadaan data dan informasi
sangat urgen dalam perencanaan pembangunan. Data dan informasi adalah urat nadi
pembangunan, dasar pengambilan keputusan dan pijakan merancang bangun program
dan kegiatan pembangunan.
Perencanaan pembangunan yang tidak berbasis data dan informasi
akan menyebabkan hasil pembangunan timpang atau tidak sesuai dengan harapan
bahkan proyek pembangunan berujung mangkrak. Proyek-proyek demikian merupakan
produk pembangunan yang gagal atau cacat. Kepala BAPPEDA Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Ir. Wayan Darmawa, kerap mengunakan istilah sampah pembangunan untuk
menggambarkan situasi tersebut di atas. Di sebut sampah karena keberadaan
proyek-proyek mangkrak mengotori ruang publik.
Berkaca dari Hambalang
Wisma Atlet Hambalang adalah salah satu contoh sampah
pembagunan. Kita dapat berkaca dari kasus atau proyek ini dalam merancang
bangun program dan kegiatan. Tempo.co (2012) mensinyalir lima (5)
penyebab proyek hambalang gagal. Pertama, Hambalang berada di
kawasan cincin api (ring
of fire). Kedua, kontur tanah. Hambalang
merupakan pebukitan yang kemiringan mencapai 45 derajat atau lebih sehingga
sangat berbahaya membangun gedung lebih dari 2 lantai.
Ketiga, kawasan Hambalang rawan
longsor. Masyur Irsyam, pakar geotechnical
engineering ITB,
memaparkan bahwa jenis tanah Hambalang merupakan tanah ekspansif (cleyshale) sehingga mudah longsor dan lapuk.
Keempat, Hambalang merupakan
daerah dengan curah hujan tinggi. Kondisi alam seperti ini mudah menimbulkan
longsor karena tanahnya labil. Terakhir, spesifikasi konstruksi. Diduga
kualitas spesifikasi konstruksi bangunan di bawah standar.
Lima alasan di atas, jelas terlihat empat alasan pertama sudah
menunjukkan data dan informasi yang valid tetapi diabaikan dalam tahap
perencanaan.
Penurunan spesifikasi konstruksi merupakan hal lain – terkait
dengan perilaku korupsi. Tetapi ini bisa menggambarkan hitungan perencanaan
sudah tepat tetapi karena perilaku menyimpang berdampak pula pada keberlanjutan
pembangunan atau kualitas pembangunan. Lacurnya, Hambalang yang semula
akan menjadi wisma atlet menjelma menjadi rumah hantu dan menjadi sampah
pembangunan.
Keinginan vs Kebutuhan
Kita tidak dapat pungkiri bahwa banyak perencanaan pembangunan
yang bersifat pengulangan proyek atau kegiatan tahun sebelumnya (tanpa melalui
sebuah kajian yang lebih dalam dan tajam). Yang berbeda adalah lokasinya,
mungkin juga, lokasi tetap sama. Padahal tidak semua program atau kegiatan
proyek bisa berlaku sama di semua tempat, begitu pun dari aspek waktunya.
Sebagai contoh proyek pembangunan jalan raya di kawasan yang labil tidak sama
perlakuan dengan proyek pembangunan jalan yang kontur tanah yang tidak labil.
Budidaya tanaman pada tempat atau lokasi yang sama mungkin saja tidak sama
karena adanya perubahan iklim atau kerentanan iklim setiap tahunnya.
Pola penjaringan aspirasi melalui mekanisme perencanaan yang
mulai dari Musrebangdes hingga Musrenbangnas baik adanya. Begitupula
penyaringan pokok pikiran anggota dewan. Namun, hasil akan lebih maksimal jika
ada tindakan lanjutan melalui sebuah kajian ilmiah yang didukung oleh data dan
informasi yang memadai.
Tanpa melalui proses ilmiah, praktek ini menggiring perspektif
perencanaan pembangunan yang berorientasi keinginan daripada perencanan
pembangunan beorientasi kebutuhan. Pembangunan bukan soal keinginan politis
semata, melainkan kebutuhan riil masyarakat. Untuk menjawab kebutuhan
masyarakat, setiap perencanaan harus melalui kajiaan atau telaah ilmiah –
analisis yang lebih mendalam.
Perilaku Masyarakat
Banyak pula perencanaan pembangunan sesuai dengan mekanisme
aturan, tetapi hasil pembangunan tidak digunakan maksimal seusuai
peruntukannya. Gedung menjadi bangunan tua dan menunggu waktu runtuh.
Contoh yang paling nyata adalah terminal-terminal angkutan darat
di NTT. Banyak terminal kota yang tidak digunakan karena perilaku sopir yang
lebih suka memarkir kendaraan di jalan utama dan membuat terminal bayangan.
Belum lagi perilaku penumpang yang lebih memilih turun atau naik bus/angkutan
di jalan raya daripada di terminal. Pemandangan ini mudah dijumpai di terminal
Watujaji dan Terminal Ndao – dua contoh dari sejumlah hasil pembangunan yang
terlantar karena perilaku penyedia dan pengguna jasa.
Kualitas Informasi
Perencanaan dan perilaku masyarakat sangat ditentukan oleh
kajian berbasis data dan informasi. Seberapa penting data dan informasi dapat
dicermati dari sebuah ungkapan berbunyi “gerbage
in, garbage out” atau “gold in, gold out” – sampah yang masuk, sampah yang
keluar atau emas yang masuk, emas yang keluar. Ungkapan ini berlaku pula dalam
perencanaan pembangunan.
Pembangunan akan berhasil maksimal (menjadi emas) jika didukung
oleh data dan informasi yang valid dan up
to date, sebaliknya, pembangunan akan menjadi sampah pembangunan
(menjadi sampah), jika tidak ditopang oleh data dan informasi yang memadai.
Untuk mewujudkan perencanaan pembangunan yang ideal, setiap
usulan program atau kegiatan harus berbasis kajian ilmiah agar pertimbangan
multi aspek pembangunan diperhitungkan secara matang dan produk dari
pembangunan berdaya guna maksimal. Kajian itu perlu ketersediaan data dan
informasi yang memadai.
Jogiyanto (2010), menguraikan ketersediaan data dan informasi
harus mempertimbangkan tiga hal, yaitu, pertama,
akurat (accurate). Informasi
yang digunakan sudah bebas error dan bias sehingga tidak menyesatkan.
Akurasi informasi harus mencerminkan maksudnya secara jelas.
Kedua, tepat waktu (timelines). Informasi
yang digunakan harus up
to date atau
kekinian. Informasi yang usang tidak bermakna apa-apa dan goyah untuk
dijadikan landasan dalam pengambilan keputusan.
Terakhir, relevan (relevance). Informasi
yang digunakan harus memiliki relavansi dengan kegiatan atau proyek yang akan
dilakukan. Setiap informasi berbeda untuk setiap kegiatan/proyek karena sangat
ditentukan oleh kebutuhan. Suatu informasi lebih bernilai jika manfaatnya lebih
efektif daripada biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkannya.
Barometer Perencanaan Pembangunan
Pertanyaan, apakah para perencana sudah mempertimbangkan tiga
aspek di atas? Apapun jawaban, kualitas informasi menjadi sebuah keharusan
karena akan berdampak pada kualitas pembangunan yang berorientasi kebutuhan
masyarakat bukan kehendak atau keinginan perorangan atau sekelompok orang.
Para perencana harus mampu memotret rencana pembangunan secara
obyektif dan efektif dengan berpijak pada data dan informasi yang valid.
Kegagalan pembangunan sering terjadi karena perencana mengabaikan data dan
informasi yang terkait dengan perencanaan itu sendiri.
Barometer pembangunan ditentukan oleh situasi atau keadaan yang
terus berkembang dan berubah secara kuantitas dan kualitas – bukan
mengulang-ulang pembangunan yang sama, misalnya pembangunan atau perbaikan
jalan raya yang itu-itu saja. Itu berarti ada sesuatu yang salah dalam
menerapkan strategi perencanaan pembangunan.
kritik dari saya, sebenarnya dalam sebuah perencanaan pembangunan haruslah dipikirkan matang-matang. mulai dari perencanaan lokasi, biaya, tenaga kerja, persyaratan apa saja yang dibutuhkan, analisis terhadap semua masalah yang ada. Sehingga sebuah pembangunan pun tidak menjadi sia-sia atau terdapat kesalahan pada saat atau sesudah pembangunan. mohon maaf bila ada salah kata. Terima Kasih.
sumber:
Perencanaan Fisik Pembangunan. http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=49599 (diakses tanggal 30 Januari 2017)
Moggi , Giorgio Babo. Perencanaan Pembangunan dan Perilaku Masyarakat. http://koepang.com/dampak-perencanaan-pembangunan/